“Masyarakat (telah) Teradaptasi”


K-News- Pagi ini kabut tebal kembali menyelimuti Kota Pontianak. Masyarakat tetap menjalani aktivitasnya seperti biasa. Ada yang menggunakan masker sebagai pelindung dari kabut asap dan ada  pula yang tidak menggunakan masker. Entah kenapa fenomena kabut asap seolah menjadi rutinas musiman di Kal-Bar khususnya di Kota Pontianak.
Dalam kurun 5 tahun terakhir, lahan di Kalimantan Barat terus mengalami deforestasi, konvensi lahan alami menjadi lahan perkebunan, pertanian, dan pemukiman penduduk. Sayangnya, pembukaan lahan dilakukan dengan cara membakar lahan. sehingga asap yang dihasilkan berdampak hingga ke berbagai pelosok daerah termasuk Kota Pontianak. Bukannya menolak pembangunan, namun kami sebagai rakyat jelata menuntut hak atas kualitas kehidupan kami yang terus digerus oleh pembangunan yang tidak berkelanjutan.
Ketika perubahan lingkungan terus saja terjadi sedangkan masyarakat hanya diam saja, maka dapat dikatakan bahwa “masyarakat telah teradaptasi”. Padahal adanya perubahan terhadap salah satu komponen lingkungan akan berdampak pada penurunan kualitas hidup suatu masyarakat. Asap hasil pembakaran lahan mengandung Particulate Matter (PM) yang berdampak serius bagi kesehatan saluran pernapasan.
Salah satu efek dari paparan akibat kabut asap yang mengandung PM-10 berlebih yaitu infeksi saluran penyakit sesak nafas (asma), batuk-batuk bahkan kanker paru-paru. Akankah kita biarkan masyarakat ini menjadi mansyarakat yang lemah dan berpenyakitan? Asap yang terhirup tidak saja sehari dua hari, tapi berhari-hari dengan frekuensi yang tinggi disetiap tahun. Masyarakat kita telah teradaptasi. Naif. Merasa baik-baik saja namun sebenarnya ada yang tidak beres di dalam hidupnya.
Orang-orang pemegang kebijakan di sana, yang duduk empuk di kursi goyang. Mungkin sudah putus saraf-saraf mereka sehingga tidak peka apa yang terjadi pada masyarakatnya. Kami maklum, mobil-mobil dinas mereka yang berasal dari anggaran pemerintah-itu uang rakyat- sudah cukup membuat mereka nyaman tanpa harus merasakan langsung dampak kabut asap ini. Begitu pula dengan kantor-kantor mereka, ruangan yang full AC tertutup dari ancaman debu-debu kabut asap. Kebijakan yang mereka ambil  itu telah membakar hutan-hutan, membunuh hewan dan tumbuhan serta menghadiahkan kabut asap kepada masyarakat. Mereka dapat sarinya sedangkan masyarakat dapat ampasnya.
Program-program pemantauan kualitas dan revitalisasi lingkungan yang dilaksanankan pemerintah tak ubahnya sekedar melaksanakan program rutin. Sedangkan hasil yang diperoleh tertulis di dalam laporan dan tersimpan rapi di laci. Bahkan untuk mengaksesnya saja masyarakat dipersulit. Lalu, di mana salah satu misi yang diusung itu – ‘meningkatkan akuntabilitas dan aksesbilitas’ - ?
Kabut asap menjadi penyumbang efek rumah kaca dan akan memperparah perubahan iklim. Kabut asap sudah sepatutnya menjadi salah satu daftar bencana yang terjadi di Kalimantan Barat. Sehingga penanganannya harus ekstra serius, sungguh-sungguh, dan melibatkan semua komponen. Oleh sebab itu, kita –mahasiswa –sebagai intelektual muda dan salah satu komponen dari masyarakat, mari kita terus awasi kinerja pemerintah –yang tidak serius itu – ‘berteriak’ agar  penggunaan lahan yang dilakukan menghasilkan emisi serendah  mungkin dan mengabsorbsi karbondioksida (CO2) secara optimal; menekan laju deforestasi dan degradasi hutan untuk menurunkan emisi GRK (gas rumah kaca); serta teraplikasinya pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Ini semua tak lain hanyalah harapan kami akan terjaminnya kualitas kehidupan masyarakat yang lebih baik lagi.
#bangkit dan melawan #tuntaskan perubahan #diam tidak selalu emas
Wrote by DM.
Share on Google Plus

About Unknown

    Blogger Comment
    Facebook Comment

1 komentar:

  1. membagikan masker saja tidak cukup .. pemerintah harus melakukan hal yg besar dan berjangka panjang

    BalasHapus