Jumat,
12 Desember 2014 sekitar pukul 17.30 WIB, bukit Telagalele di Dusun Jemblung,
Desa Sampang, Kecamatan Karang Kobar, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah
secara tiba-tiba longsor. Dalam kurun waktu sekitar 5 menit bukit setinggi 400 meter itu langsung mengubur dusun
sekaligus jalan raya penghubung Banjarnegara dan Dieng. Sebanyak 108
korban tertimbun tanah longsor dari total 308
warga Dusun Jemblung. Hingga Senin 15 Desember 2014, dari 108 korban tertimbun
longsor, 51 di antaranya ditemukan tewas. Sedangkan 57 lainnya masih dalam
pencarian. Diantara 51 korban yang ditemukan tewas, 43 korban telah
teridentifikasi sementara 8 korban lainnya belum teridentifikasi. Diduga ada
sejumlah kendaraan roda 4 dan roda 2 yang tengah melintas di jalan raya saat
kejadian. Sehingga para pengendara bersama kendaraannnya ikut tertimbun
longsor. Sementara, warga yang mengungsi akibat bencana longsor ini sudah
mencapai 1.883 orang. Pengungsi tersebut tersebar di 38 titik pengungsian dan barasal dari
daerah sekitar Banjarnegara.
Longsor Banjarnegara menambah daftar bencana alam
Indonesia yang terjadi dipenghujung tahun 2014. Terdapat 10 kecamatan di
Banjarnegara yang rentan terjadi tanah longsor, satu diantaranya adalah
Kecamatan Karang Kobar. Bencana tanah longsor dapat
terjadi jika gaya pendorong pada lereng atau bukit lebih besar dari gaya
penahan. Gaya pendorong diakibatkan oleh besarnya sudut kemiringan lereng, air,
beban serta berat jenis tanah batuan. Sedangkan penyebab gaya penahan adalah
kekuatan batuan dan kepadatan tanah. Ketika musim kering yang panjang terjadi
penguapan air di permukaan tanah dalam jumlah besar. Akibatnya terjadi
rongga-rongga dalam tanah yang kemudian disusul adanya retakan dan rekahan di
dalam tanah. Saat memasuki musim hujan dengan curah hujan yang tinggi, air
hujan akan masuk ke dalam rekahan tanah dan terakumulasi di bagian dasar lereng
sehingga menimbulkan gerakan lateral.
Secara topografi Kecamatan Karang Kobar memiliki lapisan tanah
yang tebal dan bertekstur gembur, struktur geologi kompleks, serta kemiringan
bukit yang terjal. Material
penyusun bukit Telagalele, mengalami pelapukan dan terdiri dari endapan
vulkanik tua, sehingga solum tanah tebal. Karakter topografi tersebut apabila dipicu oleh beberapa faktor,
maka tanah longsor akan terjadi. Faktor pemicu tersebut di antaranya gempa
bumi, curah hujan yang tinggi serta antropogenik.
Dari data BPBD Banjarnegara, kejadian tanah longsor
mengalami peningkatan sejak 2006. Kondisi tersebut terjadi seiring dengan
maraknya illegal logging. Selain itu,
bukit Telagalele dimanfaatkan oleh penduduk
sebagai lahan pertanian. Sayangnya, budidaya yang dilakukan tidak mengindahkan
konservasi tanah dan air, di mana tidak ada terasering pada lereng tersebut. Tanaman di atas bukit Telagalele berupa
tanaman semusim, seperti palawija dan tanaman tahunan yang tidak rapat serta
tidak mampu menahan tanah dengan kuat.
Usaha preventif bukannya tidak pernah dilakukan oleh
pemerintah dan pihak-pihak terkait. Tahun 2007, tim ahli geologi dari UGM
bekerja sama dengan Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal sudah melakukan
penelitian atas kerentanan tanah longsor di Banjarnegara dan berencana memasang
alat pendeteksi longsor. Sayangnya, niat baik ini diurungkan karena muncul
masalah sosial. Tampaknya, faktor antropogenik lebih mendominasi sebagai
penyebab terjadinya bencana alam di Indonesia. Menurut Sutopo (Kepala Pusat
Data Informasi dan Humas BNPB) 80 % bencana banjir, longsor, atau kebakaran
hutan terjadi karena adanya campur tangan manusia, bukan faktor alam. Bencana alam akibat faktor alam di antaranya adalah gempa bumi,
gunung meletus atau tsunami.
Tanpa faktor antropogenik, secara alami bentang alam di muka
bumi ini selalu mengalami siklus perubahan. Perubahan ini dibekali dengan self purification sehingga dampak yang
terjadi masih berada pada ambang batas. Ketika
manusia sudah turut andil dalam perubahan yang terjadi, beban perubahan yang
terjadi semakin bertambah dan berpotensi melahirkan kerusakan. Akhir perjalanan
proses ini adalah kerugian yang diterima oleh manusia itu sendiri. Banyak
daerah-daerah di Indonesia yang memiliki karakter seperti Banjarnegara. Apabila
kita melihat peta rawan longsor di Indonesia, maka terdapat sekitar 41 juta
jiwa penduduk yang berada di daerah terancaman longsor. Cuaca yang sudah
memasuki musim hujan memicu beberapa daerah di Indonesia yang rawan bencana. Masyarakat
harus terus bersikap waspada terhadap kondisi ini.
Jika
saja kita mau sedikit bersusah payah serius berupaya untuk bertindak arif dalam
menanggulangi bencana, maka jumlah
korban setidaknya bisa diminimalisir atau paling tidak peringatan dini adanya
bencana diketahui lebih awal. Tapi sekarang tidak ada gunanya saling
menyalahkan. Longsor Banjarnegara menjadi peringatan dan pembelajaran untuk
kita semua. Dibalik pesona alam yang diberikan tersembunyi ancaman besar yang
selalu mengintai. Ancaman tersebut akan menjadi kenyataan ketika manusia tidak
bijak dalam bersikap. Langit terus menurunkan hujannya. Gunung vulkanik tetap
meletus jika waktunya sudah tiba. Lempeng bumi terus bergerak dan menimbulkan
gempa bumi serta tsunami. Hutan pasti akan terbakar sebagai upaya penstabilan ekosistem. Ya, alam ini akan
terus berubah. Kemampuan manusia dalam memanfaatkan dan mengelola alam ini
bukan berarti melupakan bahwa ada
kekuatan Maha Dahsyat yang tidak akan
pernah bisa manusia menaklukkannya. (dm)
#PrayforBanjarnegara
#Edukasi_mitigasi_bencana
Sumber :
0 komentar:
Posting Komentar