Rasulullah SAW bersabda, “ Berbuat
baiklah kepada orang tua, Karena surga itu berada di bawah telapak kaki
mereka.” (HR.An-Nasa’i)
Dalam hadist lain disebutkan, “ Surga
di bawah telapak kaki ibu.” (HR. Ibnu Majah, Ahmad dan Al-Hakim)
Indahnya
Islam, untuk menggambarkan betapa orang tua khususnya ibu sangat berperan
terhadap surga kita. Gambaran di bawah telapak kaki menegaskan perintah untuk
berbuat baik kepada mereka dalam segala hal dan sekecil apapun, diusahakan
semaksimal mungkin, juga sedapat mungkin meninggalkan yang membuat mereka tidak
senang dan tidak ridha.
Coba
bayangkan, bila ada pengumuman bahwa pintu surga ada di suatu tempat, nicaya
kita akan berlomba-lomba kesana . Barangkali anda segera ke sana dengan
kendaraan mobil atau bahkan naik pesawat terbang. Pastilah semua bersegera
berbondong-bondong mendatangi pintu surga itu. Biaya tinggi, energi terkuras
pun siap kita korbankan dengan mendapatkannya. Di rumahmu semerbak wewangian surga
hadir, di dekatmu, dijangkauanmu pintu surga terpampang menanti anda
membukanya, Sangat dekat dan dibawah telapak kaki mereka. Ialah Ibumu yang
melahirkan, membesarkan dan merawatmu hingga kini.
Kemarin,
tanggal 22 Desember 2016, masyarakat Indonesia baru saja memperingati Hari Ibu.
Selagi masih hangatnya, izinkan saya membahas sedikit tentang Hari Ibu.
Perayaan Hari Ibu diperingati tidak hanya di Indonesia, di banyak Negara juga
memperingatinya dengan tanggal dan bulan yang berbeda-beda. Peringatan Hari Ibu
dengan tanggal yang berbeda-beda menunjukkan bahwa tiap Negara memiliki motif
dan latar belakang historis yang berbeda-beda dalam memaknainya.
Di
Negara-negara Barat, Hari Ibu atau Mother’s Day diperingati di minggu
kedua bulan Mei. Dilihat dari sejarahnya, peringatan Hari Ibu di Barat
bersumber pada festival atau perayaan di zaman Romawi untuk memperingati Cybele
– dewi Yunani ibu dari para dewa termasuk Zeus.Di Negara-negara Arab, Hari Ibu
diperingati pada tanggal 21 Maret, di Afghanistan tanggal 12 Juni, di Banglades
pada minggu keempat bulan Mei. Di Jepang Hari Ibu diperingati pada tanggal 6
Maret untuk menghormati ibu dari Kaisar Akihito.
Bagaimana
dengan di Indonesia? Bagi bangsa Indonesia sendiri, hari “Ibu” memiliki nilai
historis dan makna yang jauh lebih mendalam, bukan hanya makna peran domestik
perempuan sebagaimana disiratkan pada hari Ibu oleh kalangan barat. Dulu kaum
perempuan Indonesia terpanggil untuk ikut serta dalam perjuangan kemerdekaan
bangsa Indonesia. Karenanya, pada tanggal 22 Desember 1928 diadakan Kongres
Perempuan Indonesia yang pertama di Yogyakarta. Kongres ini
diikuti oleh 30 organisasi perempuan di Pulau Jawa dan Sumatera. Ide
untuk menjadikan tanggal 22 Desember sebagai Hari Perempuan muncul saat Kongres
Perempuan yang Ke-3 dan kemudian disetujui oleh Presiden Soekarno melalui
Dekrit Presiden No. 316 Tahun 1959.
Berjalannya
waktu, kongres tersebut berhasil melahirkan gerakan perempuan dalam
pemberantasan buta huruf, perdagangan perempuan dan anak, bahkan gerakan
mewujudkan Perempuan Indonesia sebagai Ibu Bangsa. Artinya bahwa perempuan
bukan hanya punya peran domestik dan sosial, tetapi juga punya peran politik
yang berkewajiban menumbuhkan dan mendidik generasi yang utuh.
Oleh
karena itu, Semangat hari ibu di Indonesia harusnya lebih sarat dengan pesan
pemberdayaan, dan bukan sebaliknya sekadar ungkapan cinta dan
penghargaan kepada ibu yang sudah
seharusnya dilakukan setiap saat, tidak
harus menunggu momen yang datangnya hanya sekali dalam setahun,
dengan simbolisasi penghargaan yang tidak sepadan pula.
Memang
tidak ada yang salah dengan kemuliaan seorang Ibu. Islam, sejak keberadaannya
dan sejak dibawa oleh Rasulullah, telah meletakkan posisi seorang ibu sangat
tinggi. Ibu, ibu, ibu, baru kemudianlah seorang ayah, yang wajib dihormati oleh
seorang anak, begitu hadits Rasulullah SAW yang sudah terkenal. Pemuliaan
kepada seorang ibu terjadi setiap waktu, bukan hanya satu hari saja. Bahkan
Allah SWT mengabadikan perintahnya dalam QS. Al Ahqaaf 46:15, ”Kami
perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada kedua orang ibu bapaknya,
ibunya telah mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah
payah (pula)…”.
Kemudian
setelah memahami makna Hari Ibu di Indonesia, lalu muncul pertanyaan “Ke mana
jiwa dan gelora historis Hari Ibu itu berlabuh kini?” Bagaimana tentang Ibu
yang membuang bayi mungilnya sebab malu kelahiran sang buah hati yang tanpa
ayah? Tentang Ibu yang menciderai bahkan menghilangkan nyawa si kecil? Tentang
Ibu yang begitu otoriter dan memaksakan kehendak? Tentang Ibu yang tak mampu
menjadi contoh/model ideal bagi anak-anaknya? Merebaknya prostitusi dan
eksploitasi, dan penyelewengan lain.
Hari
Ibu sangatlah tepat dijadikan momentum untuk menyadarkan kembali tanggung jawab
perempuan terhadap keluarga dan
masyarakat, serta menyerukan kaum perempuan untuk bersatu dalam melawan penjajahan
dalam bentuk apapun, mencetus inisiasi perempuan terlibat dalam proses-proses
perbaikan dan kebangkitan bangsa. Makna filosofis “Ibu” dari hari Ibu begitu
berharga jika harus tercoreng dengan tinta-tinta amoral. Apalagi jika
dikhianati secara sengaja. Baik dari skup kecil sampai besar. Individu,
keluarga, masyarakat, sampai Negara. Keharusan apresiasi tinggi terhadap
filosofis itu tak boleh luntur. Dulu menjadi penguat terhadap gerakan
kemerdekaan Indonesia, dan seharusnya lebih dari itu pada hari ini. Mengingat
potensi perempuan sangat esensi dan vital dalam kancah prestatif membangun
bangsa. Apa pun perannya, sebagai Ibu rumah tangga, sebagai Ibu rumah didik
(guru), sebagai Ibu rumah sehat (dokter), sebagai ibu rumah industri (bisnis,
wirausaha, ekonomi), sebagai ibu rumah pembinaan dan pengembangan masyarakat
(lembaga/yayasan), bahkan sebagai Ibu Negara. Atau sebagai para calon ibu
dengan berbagai peran di segala ranah. Terlebih ketika celah kontributif itu
tak bisa ditunda-tunda lagi. Ataukah rumah-rumah dan puing-puing peradaban itu
akan terkikis oleh kuatnya gelombang hantaman dari luar, ini berbahaya.
Hari
Ibu kini seharusnya menghayati makna historisnya yang mampu menjadi pemancar
kekuatan. Terlepas dari perbedaan-perbedaan yang mungkin saja muncul pada
gerakan dan aktivitas perempuan masa kini. Basis keluarga menjadi sub inti
penting dalam menumbuhsuburkan tunas-tunas prestatif di segala lini, dan aktor
utamanya adalah perempuan, Ibu/ calon Ibu. Mengisi ruang udara “bangunan embrio
peradaban” itu dengan atmosfir yang demokratis, penuh pembinaan dengan cinta,
dan suksesi lahirnya jiwa-jiwa pro aktif bergerak, berkarya, peduli dengan
kearifan batiniah yang terpelihara. Seimbang dengan kepahaman intelektual dan
spiritual.
Momentum
hari Ibu ini sekali lagi mendorong revitalisasi eksistensi dan peran perempuan.
Jika ini dipahami secara baik maka akan menumbuhkan suatu motivasi baru untuk
kembali memposisikan perempuan sebagaimana mestinya. Pada akhirnya, kata cinta
dan apresiatif tinggi itu layak untuk dipatrikan, “I’m proud to be your
son/daughter mom…” bagi perempuan yang berperan sebagai tiang negara, maka
segala kebaikan bermula padanya. Perempuan penuh kharismatik dan keteladanan,
karyanya selalu dinantikan, untuk keluarga, masyarakat, bangsa dan negara,
bahkan dunia. Selamat bercermin dari hari Ibu.
-Ade Putri Yulianti-
Kepala Bidang Perempuan KAMMI Daerah Pontianak
Sumber :
Al-Habsyi, Ahmad. 2012.7 Keajaiban
Orang Tua. Haqienamedia : Jakarta
https://muslimah.web.id/menjadi-ibu-kontribusi-perempuan-dalam-pembangunan
0 komentar:
Posting Komentar